Rohani Kristen


The Parable of Jesus

INTRODUCTION

Koran-koran biasanya meletakkan sebuah gambar karikatur pada tempat yang menyolok pada halaman korannya. Dengan gambar yang sederhana saja, sang pelukis menggambarkan situasi dan kondisi sosial, politik, atau ekonomi, yang kita hadapi saat itu. Dengan gambar tersebut, ia ingin menyampaikan suatu pesan yang tajam, yang seringkali seorang editor tidak dapat secara tepat menyampaikannya dalam tulisan. Dalam ilmu komunikasi hal itu biasa disebut semiotika, ilmu yang mempelajari tanda, lambing atau symbol yang dikaitkan dengan situasi sosial.

Yesus menggambarkan lukisan verbal dari lingkungan di sekitarNya dengan menceritakan sebuah parabel (perumpamaan). Melalui parabel Ia menggambarkan apa yang terjadi di dunia nyata. Dengan menggunakan sebuah cerita, yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dengan setting yang wajar dan umum, Yesus mengajarkan sebuah pelajaran baru. Pelajaran tersebut seringkali muncul pada akhir dari kisah dan memiliki pengaruh yang membutuhkan waktu untuk menyerapnya dan menyesuaikannya. Ketika kita mendengar sebuah parabel, kita mengangguk setuju karena kisah tersebut sesuai dengan kehidupan dan sudah dimengerti sebelumnya. Sekalipun aplikasi parabel dapat kita dengar namun tidak selalu dapat dimengerti. Kita melihat kisah itu dengan jelas namun kita tidak dapat mengerti maknanya. Kebenaran tetap tersembunyi hingga mata kita dibukakan dan kita dapat melihat secara jelas. Kemudian pelajaran baru dari kisah itu menjadi ada maknanya. Hal ini seperti yang disampaikan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya, “The secret of the Kingdom of God has been given to you. But to those on the outside everything is said in parables” (Mark 4:11).

Bentuk

Kata parabel di dalam perjanjian baru memiliki konotasi yang luas, termasuk bentuk-bentuk parabel yang secara umum dibagi menjadi tiga kategori. Ketiganya adalah: true parables, story parables, dan illustrations.

True parables. Ilustrasi yang digunakan adalah kehidupan sehari-hari yang mencakup semua orang yang mendengar parabel tersebut. Setiap orang mengetahui kebenaran yang ada di dalamnya; tidak ada dasar untuk keberatan dan kritikan. Semua mengetahui benih tumbuh dengan sendirinya (Markus 4:26-29); ragi yang bekerja dalam tepung terigu (Matius 13:33); anak-anak yang bermain di pasar (Matius 11:16-19, Lukas 7:31, 32); seekor domba yang terpisah dari kawanannya (Matius 18:12-14); dan seorang wanita yang kehilangan sebuah koin uang di rumahnya (Lukas 15:8-10). Kisah-kisah ini dan banyak yang lain dimulai dari kebenaran dasar yang menggambarkan baik alam ataupun kehidupan manusia. Semuanya biasanya berhubungan dengan masa sekarang.

Story parables. Berbeda dari True parables, story parable tidak bergantung pada kebenaran umum atau kebiasaan yang diterima secara umum. True parable diceritakan dalam masa sekarang sebagai fakta; story parable, sebaliknya, merujuk pada kejadian khusus yang terjadi pada masa yang lampau–biasanya merupakan pengalaman dari seseorang. Merupakan pengalaman seorang petani yang menabur benih gandum kemudian mengetahui bahwa musuhnya telah menabur benih ilalang pada tanah yang sama. (Matius13:24-30). Adalah pengalaman seorang kaya yang managernya telah membuang-buang harta miliknya (Lukas 16:1-9). Adalah pengalaman seorang hakim, yang karena permohonan janda yang tidak jemu-jemunya, memberikan keadilan (Lukas18:1-8). Nilai sejarah dari kisah ini tidak dapat diketahui, karena bukan fakta namun kebenaran yang digambarkan bermakna.

Illustrations. Kisah-kisah ilustrasi muncul dalam Injil Lukas biasanya dikategorikan sebagai kisah-kisah contoh. Contohnya adalah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30-37); orang kaya yang bodoh (Lukas 12:16-21); orang kaya dan Lazarus (Lukas 16:19-31); Orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14). Ilustrasi ini berbeda dengan story parable dalam desain. Kalau story parable merupakan analogi, ilustrasi menonjolkan contoh-contoh yang harus diikuti atau dihindari. Fokus utama dari ilustrasi langsung pada karakter atau tingkah laku dari seorang individu; story parable pun bertujuan sama hanya tidak bersifat langsung.

Mengklasifikasikan parabel tidak selalu mudah. Beberapa parabel menggambarkan karakteristik dari dua grup—true parable dan story parable— dan mungkin bergabung pula dengan grup yang lain. Selain itu, Injil juga mengandung banyak perkataan-perkataan parabolis. Seringkali sangat sulit untuk menentukan secara tepat mana yang merupakan parabel dan mana yang merupakan perkataan parabolis. Pengajaran Yesus tentang ragi (Luk 13:20,21) diklasifikasikan sebagai true parabel, namun pesanNya yang lebih panjang akan garam (Luk.14:34,35) disebut perkataan parabolis. Lebih jauh lagi, beberapa perkataan Tuhan Yesus diperkenalkan sebagai parabel. Sebagai contoh, “He also told them this parable: Can a blind man lead a blind man? Will they not both fall into pit?”(Luk. 6:39).

Komposisi

Sekalipun secara umum benar bahwa sebuah parabel hanya mengajarkan satu pelajaran dasar, aturan ini janganlah dipaksakan terlalu berlebihan. Beberapa dari parabel Tuhan Yesus memiliki komposisi yang kompleks. Parabel penabur merupakan komposisi dari empat bagian, dan setiap bagian memerlukan satu interpretasi. Hal yang sama, parabel perjamuan kawin bukanlah merupakan kisah tunggal, namun memiliki seksi tambahan tentang seorang tamu tanpa pakaian perkawinan yang pantas. Dan kesimpulan dari parabel para penyewa tanah berpindah dari imagery kebun anggur kepada tukang bangunan. Dipandang dari ke-kompleks-an inilah maka lebih baik untuk tidak meng-eksegesis komposisi parabel menjadi interpretasi satu-point.

Ketika seorang membaca parabel Yesus, seseorang mungkin bertanya-tanya mengapa banyak sekali detail yang kita harapkan menjadi bagian dari kisah tersebut tidak ada. Sebagai contoh, di dalam kisah teman yang mengetuk pintu-pintu tetangganya pada tengah malam untuk minta tiga potong roti, tidak menyebutkan peran istrinya. Didalam parabel anak yang hilang, sang ayah merupakan karakter utama, tapi tidak ada satu katapun disebut tentang ibunya. Parabel tentang sepuluh orang gadis memperkenalkan mempelai pria, namun sama sekali mengabaikan mempelai wanita. Detail-detail ini, namun, tidaklah relevan kepada komposisi umum dari parabel, terutama jika kita mengerti gaya sastra triads yang sering digunakan pada parabel Tuhan Yesus. Dalam parabel teman pada tengah malam, ada tiga karakter: sang tamu, sang teman dan sang tetangga. Parabel anak yang hilang terdiri atas tiga orang: sang ayah, anak yang bungsu, dan anak yang sulung. Dan dalam kisah sepuluh anak gadis ada tiga elemen: lima gadis yang bijaksana, lima gadis yang bodoh, dan mempelai pria.

Lebih jauh lagi, pada parabel Tuhan Yesus bagian akhirlah yang penting bukan bagian awal. Penekanan jatuh pada orang terakhir, tindakan terakhir, atau perkataan terakhir. Bukanlah imam atau orang Lewi yang membalut orang yang terluka melainkan oarng Samaria. Sekalipun pelayan yang mendapat pujian adalah yang yang berhasil menggandakan lima dan dua talenta, namun tindakan pelayan yang menguburkan satu talenta yang diterimanya, yang membuatnya dimurkai. Dan dalam parabel pemilik tanah, yang sepanjang hari menyewa pekerja-pekerja di kebun anggurnya dan pada pukul enam mendengar keluhan beberapa pekerjanya, adalah jawaban pemilik tanah itu yang merupakan terpenting: “Friend, I am not being unfair to you….Or are you envious because I am generous?” (Mat. 20:13,15)

Tujuan

Parabel menunjukan bahwa Tuhan Yesus sepenuhnya mengenali kehidupan manusia dengan jalan dan alatnya yang beragam. Ia memiliki pengetahuan akan pertanian, penaburan benih, mengenali ilalang, dan menuai gandum. Ia mengenali kebun anggur, tahu kapan saatnya untuk menuai buah dari pohon anggur dan pohon ara dan sangat paham akan upah untuk kerja sehari. Bukan saja Ia mengenali pekerjaan dari petani, nelayan, tukang bangunan dan pedagang,, namun lebih jauh lagi kepada tuan-tuan tanah, departemen keuangan dalam kerajaan, hakim dalam pengadilan, orang Farisi dan pemungut cukai. Ia mengerti kemiskinan dari Lazarus, namun Ia diundang juga untuk makan dengan orang kaya. Parabel-parabelnya menggambarkan kehidupan pria, wanita, dan anak-anak, orang miskin dan kaya, orang yang tersisih dan dimuliakan. Karena pengenalanNya meliputi keseluruhan umat manusia, Ia mampu untuk melayani semua strata sosial masyarakat. Ia berbicara dengan bahasa rakyat dan mengajar mereka sesuai dengan kemampuan mereka. Yesus menggunakan parabel supaya pesanNya dapat diterima oleh rakyat, untuk mengajarkan sekumpulan orang Firman Tuhan, untuk memanggil pendengarnya supaya bertobat dan beriman, untuk menantang orang percaya untuk mempraktekan perkataan ke dalam tindakan, dan untuk memperingatkan pengikutbnya untuk berjaga-jaga.

Yesus menggunakan parabel untuk mengkomunikasikan pesan keselamatan dengan jelas dan mudah dimngerti. PendengarNya telah mengerti kisah anak yang hilang, dua orang yang berhutang, perjamuan besar, dan orang Farisi dan pemungut cukai. Di dalam parabel mereka menjumpai Yesus sebagai Kristus, yang mengajar dengan otoritas pesan akan kasih penebusan Allah.

Menurut penuturan Injil, namun, merupakan kenyataan bahwa interpretasi dari parabel hanya terjadi pada murid-muridNya saja. Yesus berkata pada mereka, “The secret of the kingdom of God has been given to you. But to those on the outside everything is said in parables so that, they may be ever seeing but never perceiving, and ever hearing but never understanding; otherwise they might turn and be forgiven!”(Mark. 4:11,12).

Apakah ini berarti bahwa Yesus, yang dikirim oleh Tuhan untuk memproklamirkan penebusan kepda orang berdosa, menyembunyikan pesannya dalam bentuk parabel yang tidak dapat dipahami? Apakah parabel merupakan saringan yang dimengerti oleh orang yang terpilih?

Kata-kata dalam Markus 4:11,12 perlu dimengerti di dalam konteks yang lebih luas di mana penulis menempatkannya. Di dalam pasal sebelumnya Markus menghubungkan Yesus yang berhadapan dengan oposisi yang tidak percaya. Dia dituduh mengabdi pada Beelzebul dan mengusir setan dengan kuasa penghulu iblis (Markus 3:22). Kontras yang Yesus sampaikan, karenanya adalah antara orang percaya dan tidak percaya, antara pengikut dan lawan, antara penerima dan penolak wahyu Allah. Mereka yang melakukan kehendak Allah menerima pesan dari parabel, karena mereka masuk dalam keluarga Yesus (Markus 3:35). Mereka yang bermaksud memusnahkan Yesus (Markus 3:6) telah mengeraskan hati mereka untuk mengenali keselamatan. Ini adalah masalah iman dan ketidak-percayaan. Orang beriman mendengar parabel dan menerimanya di dalam iman dan mengerti. Orang yang tidak percaya menolak parabel karena terasa asing dengan jalan pikiran mereka. Mereka menolak untuk memahami kebenaran Allah. Sehingga, oleh karena mata mereka yang buta dan pendengaran yang tuli, mereka menutup diri mereka dari keselamatan yang Yesus proklamirkan, dan mereka membawa diri mereka jatuh dalam penghakiman Allah.

Bahwa murid-murid Yesus untuk pertamakalinya tidak mengerti sepenuhnya parabel benih yang ditabur tidaklah mengejutkan (Markus 4:13). Mereka bingung dengan pengajaran melalui parabel karena mereka belum pernah melihat makna dari pribadi dan pelayanan Tuhan Yesus di dalam hubungan dengan kebenaran Allah yang disampaikan melalui parabel. Hanya dengan iman mereka mampu melihat kebenaran tersebut dimana parabel itu memberi kesaksiannya. Yesus memberikan interpretasi yang lengkap tentang parabel benih yang ditabur dan parabel gandum dan ilalang.

Interpretasi

Semasa Gereja mula-mula, bapa-bapa gereja mulai mencoba untuk menemukan arti tersembunyi dalam Perjanjian Lama yang menyatakan kedatangan Tuhan Yesus. Sebagai konsekuensi logis dari hal ini, mereka pun mulai mencoba untuk menemukan arti tersembunyi dalam parabel Tuhan Yesus. Mungkin mereka terpengaruh oleh apologetika orang Yahudi dalam mengganti kesederhanaan dari Kitab Suci kepada spekulasi yang rumit. Akibatnya, yang terjadi adalah penafsiran alegoris dari parabel. Oleh karena itu, dari masa gereja mula-mula hingga pertengahan abad sembilan belas, banyak penafsir mengartikan parabel dengan cara alegoris.

Origen, contohnya, percaya bahwa parabel sepuluh gadis penuh dengan simbol-simbol tersembunyi. Gadis-gadis tersebut, menurut Origen, adalah orang-orang yang telah menerima Firman Tuhan. Yang bijaksana percaya dan hidup secara benar; sedangkan yang bodoh percaya namun tidak berbuat. Kelima pelita dari yang bijaksana melambangkan kelima indra manusia, yang digunakan untuk keperluan yang seharusnya. Kelima pelita dari yang bodoh gagal untuk memberikan terang dan berpindah kepada kegelapan dunia. Minyak pelita itu berarti pengajaran dari Firman, dan penjual dari minyak itu adalah para pengajar. Harga yang mereka minya untuk minyak itu adalah penderitaan. Tengah malam adalah waktu dari orang-orang sembrono lalai. Tangisan yang besar, yang terdengar berasal dari malaikat-malaikat yang membangkitkan semua manusia. Dan mempelai pria adalah Kristus yang datang untuk menemui mempelai wanitaNya, yaitu gereja. Seperti itulah Origen menafsirkan parabel.

Bagi para komentator abad kesembilan belas, masih umum untuk mengidentifikasikan detail-detail individu dari sebuah parabel. Dalam parabel sepuluh gadis, lampu yang menyala melambangkan pekerjaan baik dan minyak melambangkan iman orang percaya. Yang melihat bahwa minyak merupakan simbol perwakilan dari Roh Kudus.

Namun tidak semua penafsir menggunakan cara alogoris untuk menafsirkan parabel. Pada masa Reformasi, Martin Luther mencoba untk mengubah arah penafsiran dari Kitab Suci. Ia merujuk pada metoda Eksegesis biblical yang di dalamnya termasuk pertimbangan latar belakang sejarah dan struktur gramatikal dari parabel. John Calvin bahkan lebih tegas lagi. Ia menghindari semua penafsiran alegoris dan sebagai gantinya mencoba menemukan poin utama dari pengajaran parabel tersebut. Ketika ia menggali kebenaran dari parabel tersebut, ia tidak menyusahkan dirinya dengan detail-detail. Menurut pendapatnya, detail-detail tersebut tidak berhubungan dengan pengajaran yang Yesus ingInkan dari parabel tersebut.

Selama paruh kedua abad sembilan belas, C.E. van Koetsveld, seorang sarjana Belanda, memberikan dorongan lebih jauh lagi kepada pendekatan yang digunakan para Reformator ini. Ia menunjukkan bahwa penafsiran alegoris dari parabel yang dilakukan oleh banyak komentator lebih membingungkan daripada membantu menjelaskan pengajaran Tuhan Yesus. Untuk menafsirkan parabel secara tepat, seorang penafsir harus mengerti arti dasarnya dan membedakan antara yang esensial dan tidak. Van Koetsveld berhasil dalam pendekatan ini ke dalam parabel, yang dilakukan oleh seorang teolog Jerman, A. Julicher, yang meneliti bahwa sekalipun kata parabel sering digunakan oleh kaum evangelis, namun kata alegoris tidak pernah muncul dalam tulisan mereka tentang Injil.

Pada akhir abad ini, belenggu alegoris yang mengikat penafsiran parabel diputuskan dan era baru dalam menggali parabel muncul. Ketika Julicher melihat Yesus sebagai seorang guru moral, maka C.H. Dodd memandangNya sebagai seorang yang dinamis, yang melalui pengajaranNya menyebabkan periode krisis. Kata Dodd, “Tugas Interpreter parabel adalah menemukan, kalau dapat, latar belakang dari parabel dalam situasi perenungan melalui Injil. Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Allah, Anak Manusia, penghakiman, masa anugerah telah memasuki latar belakang sejarah pada masa itu. Bagi Yesus, menurut Dodd, kerajaan berarti hukum Allah diterangkan dengan contoh melalui pelayanan pribadiNya. Karena itu, parabel yang Tuhan Yesus ajarkan harus memiliki arah yang benar tergantung situasi aktual pemerintahan Allah di dunia.

J. Jeremias melanjutkan pekerjaan Dodd. Ia juga ingin membahas pengajaran parabolik yang kembali kepada Yesus sendiri. Namun, Jeremias mencoba menelusuri perkembangan historis parabel, yang ia percayai terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama berkenaan dengan situasi aktual dari pelayanan Yesus, dan tahap kedua merupakan sebuah refleksi bagaimana parabel digunakan dalam gereja mula-mula. Tugas yang diberikan oleh Jeremias adalah menemukan bentuk original parabel supaya dapat mendengar suara Tuhan Yesus. Dengan pengetahuan yang nyata akan tanah, kebudayaan, adat, masyarakat, dan bahasa orang Israel, Jeremias berhasil mengumpulkan sejumlah informasi yang menjadikan pekerjaannya merupakan buku yang berpengaruh dalam penjelasan parabel.

Sekalipun demikian, sebuah pertanyaan dapat diajukan, yaitu apakah bentuk original dapat dipisahkan dari konteks historis tanpa melibatkan sejumlah terkaan. Pada sisi yang lain, seseorang dapat saja mengambil teks parabel tersebut dan menerimanya sebagai presentasi yang benar dari pengajaran Yesus. Bukankah teks Alkitab yang diberikan oleh para kaum evangelis dapat merefleksikan konteks historis dimana parabel pertamakali diajarkan. Kita harus bergantung pada teks yang kita terima, dan membiarkan parabel dan konteks historisnya tetap utuh. Hal ini tentu saja memerlukan keyakinan – misalnya bahwa para evangelis dalam merekam parabel, mengerti maksud Tuhan Yesus mengajarkan parabel dalam latar yang mereka berikan. Ketika parabel terekam, saksi mata dan pelayan-pelayan Firman menuliskan tradisi oral dari perkataan dan tindakan Tuhan Yesus (Luk.1:1,2). Karena berhubungan dengan saksi mata maka kita dapat yakin bahwa konteks yang diberikan dalam parabel merujuk pada waktu, tempat, dan kondisi di mana Yesus pertama kali mengajar mereka.

Dalam masa terakhir ini, banyak sekolah-sekolah hermenetik menjauhi parabel-parabel dari latar historisnya dan mengarahkan kepada penekanan sastra (literary) dalam struktur yang dapat berdiri sendiri. Sarjana-sarjana ini memperlakukan parabel sebagai sastra yang dapat berdiri sendiri, terpisah dari pengaruh historis dan menggantikan arti awalnya dengan pesan kontemporer. Mereka menolak bahwa arti awal sebuah parabel ditemukan dalam kehidupan dan pelayanan Yesus; mereka tidak tertarik dengan sumbernya dan latarnya tapi lebih menyukai bentuk sastranya dan penafsiran eksistensial. Bagi mereka struktur sastra parabel sangat penting karena menuntun manusia modern kepada sebuah momen pengambilan keputusan : ia harus memilih menerima atau menolak tantangan yang ada di hadapannya.

Bahwa parabel memanggil orang untuk bertindak dapat disetujui; dalam aplikasi orang Samaria yang baik hati, ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus disuruh, “pergi dan lakukanlah semua itu” (Luk.10:37). Namun, kaum eksistensialis dalam penafsirannya menekankan modus perintahnya dan menghilangkan modus beritanya dimana parabel itu ditulis. Mereka memisahkan perkataan Yesus dari latar budayanya dan karena itu mengambil bagi mereka sendiri kuasa dan otoritas Yesus yang telah diberikan bagi mereka.

Lebih jauh lagi, dengan memperlakukan parabel sebagai struktur sastra yang terpisah dari latar awalnya, kaum eksistensialis harus mempersiapkan mereka dengan latar yang baru. Kemudian mereka menggantikan parabel dalam konteks kontemporer . Tapi metode ini hampir tidak bisa disebut eksegesis, sebab filsafat eksistensialisme telah dibawa masuk dalam teks Alkitab. Ini adalah eisegesis, bukan eksegesis. Sayangnya orang Kristen awam yang mencari pedoman dalam mengerti parabel harus pertama-tama belajar filsafat eksistensialisme, teologi neoliberal, dan bahasa sastra dari strukturalisme sebelum ia dapat mengambil manfaat dari penafsiran mereka.

Prinsip

Penafsiran sebuah parabel tidak memerlukan sebuah studi yang mendalam dalam teologi dan filsafat, namun tetap memerlukan prinsip-prinsip dasar penafsiran. Prinsip-prinsip ini secara ringkas berhubungan dengan sejarah, grammar, dan teologi dari teks Alkitab. Sedapat mungkin, seorang penafsir harus membuat sebuah studi tentang latar historis parabel, termasuk analisis detail dari kondisi religius, sosial, politik, dan geografi yang dinyatakan dalam parabel. Sebagai contoh, latar parabel orang Samaria yang baik hati membutuhkan beberapa kebiasaan dengan instruksi agamawi dari seorang iman pada saat itu. Ahli Taurat datang kepada Yesus bertanya apa yang harus ia kerjakan untuk memperoleh hidup yang kekal, membuka pembicaraan yang memimpin kepada kisah orang Samaria ini.

Dalam meneliti parabel orang Samaria yang baik hati ini, penafsir harus membiasakan dirinya dengan asal, status, dan agama orang Samaria; fungsi, tempat tinggal imam dan orang Lewi; topografi dari daerah antara Yerusalem dan Yerikho; dan konsep orang Yahudi tentang sesama manusia. Dengan memperhatikan catatan tentang konteks historis parabel, penafsir melihat alasan Tuhan Yesus mengajarkan kisah ini dan belajar pelajaran obyektif yang ingin Tuhan Yesus capai dengan parabel ini.

Kedua, tugas eksegesis harus memperhatikan sastra dan struktur gramatikal parabel. Modus dan tenses yang digunakan penulis dalam merangkai sebuah parabel mempunyai arti tertentu dan memberikan terang pada ajaran utama dari kisah itu. Studi kata dalam konteks Alikitab dan juga mempelajari tulisan-tulisan non-kanon merupakan dasar yang esensial dari proses dalam menafsirkan parabel. Karena itu, sebuah studi tentang kata sesama dalam konteks perintah “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri,” sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama dan Baru merupakan pekerjaan yang berharga. Selain itu, seorang penafsir juga harus melihat pengantar dan kesimpulan parabel; ini dapat berbentuk berbagai gaya sastra seperti pertanyaan retorikal, teguran, atau perintah. Parabel Orang Samaria yang baik hati disimpulkan dengan sebuah perintah, “Pergi dan lakukanlah seperti itu” (Luk.10:37). Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus tentang usaha untuk memperoleh hidup yang kekal menjadi tidak dapat lari dari kesalahannya yaitu mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pengantar, dan terutama sekali kesimpulan, berisi hal-hal yang akan menuntun kita kepada poin utama dari parabel.

Dan ketiga, poin utama dari parabel harus diperiksa secara teologikal terhadap ajaran Tuhan Yesus dan keseluruhan Alkitab. Ketika ajaran dasar dari parabel telah sepenuhnya digali dan sepenuhnya dimengerti, kesatuan dari Kitab Suci akan nampak, dan arti sebenarnya dari perikop tersebut dapat diperluas di dalam kesederhanaan dan kemudahan untuk dimengerti.

Terakhir, tapi bukan terkecil, penafsir harus menterjemahkan artinya ke dalam bahasa yang relevan dengan kebutuhan masa kini. Tugasnya adalah membawa ajaran utama dari parabel ke dalam situasi kehidupan dari orang yang mendengar interpretasinya. Dalam parabel orang Samaria, perintah untuk mengasihi sesama manusia menjadi berarti ketika orang yang telah dirampok dan terluka sepanjang jalan Yerikho tidak lagi menjadi gambaran yang terjadi pada masa lampau. Sebagai gantinya, sesama yang membutuhkan kasih kita adalah orang yang tidak memiliki rumah, tidak memiliki harta benda, seorang pengungsi. Mereka bertemu dengan kita di jalan Yerikho dalam koran harian kita dan laporan berita TV yang full-colour pada dunia dalam berita.(GIE)

Disadur dari “The Parables of JESUS”

Introduction, hal. xiii-xxvi Simon Kistemaker. Penterjemah: Jusuf Anggono

1 Komentar »

  1. yulie Said:

    wah-wah ada anak muda sebaya gw bisa nulis kayak gini… great!!


{ RSS feed for comments on this post} · { TrackBack URI }

Tinggalkan komentar